Perjalanan Menulis (bag. 1)





Saat punya keinginan untuk menulis, yang biasanya dilakukan adalah bergabung dengan organisasi/komunitas kepenulisan, atau mengikuti seminar/Diklat/workshop. Mengikuti workshop kepenulisan sering saya lakukan, setidaknya, berdasarkan sertifikat kegiatan yang ada, sudah belasan workshop saya ikuti.

Organisasi pertama yang saya ikuti adalah ekstrakurikuler Jurnalistik sekolah. Begitupun dengan Diklat Kepenulisan pertama, akhir tahun 2006 dengan pemateri dari wartawan Jawa Pos. Saya lupa nama narasumbernya, ada dua orang, perempuan dan laki-laki. Setiap peserta Diklat mendapatkan koran Jawa Pos terbitan hari itu.

Diklat selanjutnya saya ikuti awal tahun 2007, di Aula Dinas Pendidikan Daerah (sebelah SMAN 1 Blitar), didelegasikan oleh Sekolah. Pematerinya masih dari Jawa Pos. Ada dua sesi, sesi pertama tentang penulisan berita feature, sesi kedua teknik fotografi. Delegasi dari MAN Kota nampak sedikit unggul pada sesi pertama, termasuk banyaknya pertanyaan yang diajukan. Namun pada sesi fotografi (karena organisasi tidak punya kamera digital), lebih banyak menjadi pendengar.

Rangkaian diklat berikutnya masih saya ikuti sepanjang tahun 2007. Seperti, Safari Jurnalistik di MAN 3 Kediri ketika bulan Ramadan. Jurnalistik Mereka memang unggul segalanya. Majalah terbit 2 kali setahun, buletin terbit setiap bulan, punya radio FM, juga mading mutakhir 3 dimensi yang menjadi pajangan pada acara Safari Jurnalistik kala itu. Sampai sekarang, di MAN Kota Blitar saja masih belum punya mading 3 dimensi. Sementara di MAN 3 Kediri sudah berkreatifitas sejak 10 tahun silam.

Selepas hari raya idul fitri 2007, kemudian saya ditunjuk menjadi ketua pelaksana Diklat PAB (Penerimaan Anggota Baru). Diklat itu sebenarnya diikuti oleh kelas X dan XI. Sebelum diklat anggota baru, kami yang kelas XI mendapatkan diklat khusus sebelumnya, yang dinamakan diklat pemantapan, sekaligus diklat untuk memperoleh seragam organisasi.

Diklat pemantapan tidak dilakukan di sekolah, melainkan di Pasar legi. Kami harus membuat liputan dengan berbagai sudut pandang. Tidak boleh sama. Misalkan, ada yang menulis tentang harga buah, pakaian, emas, dll. Ada pula yang menulis tentang alasan orang belanja di pasar tersebut, ada yang menulis biaya sewa petakan beserta pendapatan per bulannya, dlsb. Itulah Diklat Pemantapannya.

Sementara diklat PAB dilakukan selama dua hari, Sabtu dan Ahad. Sabtu sepulang sekolah, berupa materi, berlanjut materi hari kedua sampai jelang dhuhur. Selain peserta dari dalam, juga mengundang sekolah lain, termasuk SMA Katolik Diponegoro yang sepertinya selalu hadir memenuhi undangan setiap kali Jurnalistik Man Kota mengadakan diklat/latgap.

Selepas dhuhur, berganti acara outdor. Ada berbagai pos yang disediakan, sekaligus menguji sejauh mana peserta menyerap materi selama diklat. Acara outdor ini khusus diikuti peserta dari dalam. Peserta dari luar sekolah bisa pulang atau menunggu sampai pengukuhan. Acara outdor biasanya berakhir selepas ashar, baru setelah itu ada pengukuhan dan sedikit konflik yang didramatisir.

Pemateri dalam acara diklat tersebut adalah Kukuh Santosa, yang kala itu juga sebagai ketua FLP Malang. Saya menjemput Pak Kukuh sore hari, sesuai jadwal kereta. Nama Pak Kukuh sendiri direkomendasikan oleh senior. Statusnya kala itu sebagai wartawan freelance. Dulu saya kira “freelance” itu adalah nama koran/majalah. Belakangan saya baru tahu kalau Pak Kukuh pernah menjadi wartawan di Majalah Sabili, juga kontributor eramuslim dan voa-islam.

Karena anggaran yang terbatas, Pak Kukuh pun menginap di sekolah, tidur beralaskan tikar sederhana di lantai aula. Saya dan satu orang senior menemani. Malam harinya, sembari mempersiapkan materi untuk acara besok, kami terlibat perbincangan soal kepenulisan. Bagi saya itu ilmu tambahan, diluar dari materi diklat.

Ketika saya pindah ke Malang, nama Pak Kukuh Santosa pun mendadak kontroversial. Pertengahan 2009 kami masih bertemu di acara writing camp FLP di Batu. Kala itu FLP Malang dipimpin oleh Pak Faris Khoirul Anam, dosen sekaligus tokoh NU, penulis buku “Fiqh Jurnalistik”.

***
Akhir 2007 kemudian saya mendapatkan voting tertinggi dalam pemilihan ketua Ekskul Jurnalistik, mewakili divisi Majalah. Ada 4 divisi kala itu, selain majalah, ada div. Mading, buletin, dan broadcast. Posisi saya sebagai reporter majalah sekolah. Posisi reporter tidak begitu dikenal, yang banyak dikenal adalah anak broadcast, karena sering siaran dengan suara “seksinya”, juga sering tampil sebagai MC ketika ada acara sekolah.

Divisi yang dominan dalam satu periode, biasanya bergantung dari divisi manakah ketua ekskul tersebut. Sebelumnya ketua berasal dari divisi broadcast, dan karena saya berasal dari divisi majalah, maka kemungkinan yang menguat adalah divisi yang tugasnya banyak melibatkan tulis-menulis.

Pada periode 2007-2008 kemudian saya justru jarang mengikuti diklat/workshop kepenulisan, dan lebih disibukkan untuk mengelola organisasi. 2008 pula FLP Blitar berdiri, saya mulai mengenal dan belajar genre sastra, yang akan saya ceritakan pada catatan berikutnya. []

Blitar, 7 Maret 2017
A Fahrizal Aziz