Ritus Kesunyian (31)



***
Egar duduk menyendiri di taman sekolah, dibawah pohon rindang, disamping air mancur, ia membaca barisan email yang memenuhi kotak masuknya. Itu email dari Mamanya, ia mendapatkan informasi jika Mamanya akan diangkat menjadi staf ahli menteri Pendidikan, dan Mamanya juga telah mengatakan jika dalam waktu dekat Pendidikan di Indonesia akan menganut sistem yang ia kembangkan.
“Kurikulum baru yang akan direncanakan nanti akan menggunakan konsep yang Mama kembangkan, jadi Sekolah yang tidak mau menjalankan sistem itu akan mendapatkan teguran keras,” tulis Mamanya.
Lalu dengan cepat Egar membalas.
“Apa yang akan Mama lakukan dengan Sekolah ini?”
tak berselang lama Mamanya membalas.
“Sekolah itu akan menjadi target utama Mama, lalu bagaimana dengan rencana kamu? Apa kamu sudah menemukan keburukan sekolah itu? kamu harus kritis seperti Mama, karena Mama dengan tegas mengkritik sekolah itu.”
Egar terdiam sejenak, ia mengamati dengan seksama barisan kalimat itu, lalu membalasnya.
”Kenapa Mama membenci sekali konsep sekolah ini?”
Beberapa detik kemudian Mamanya membalas.
“Harus berapa kali Mama bilang? Mama sudah lelah menjelaskan ke kamu”
“Tapi seperti ada sesuatu yang Mama tutupi dari Saya.”
“Apa Maksud kamu?”
“Apa Mama dendam dengan Bu Mira?”
Mamanya tak membalas, lalu sejurus kemudian ponselnya berdering, ternyata itu Mamanya.
“Itu Pertanyaan yang tidak berbobot,” ucap Mamanya dari balik telepon.
“Mama harus menjelaskan itu, karena Saya akan terus sekolah disini sampai Mama menjelaskan dengan sedetail-detailnya. Kritik yang Mama sampaikan bersifat normatif, tapi ada hal yang sepertinya Mama sembunyikan, Mama harus jujur.”
“Kamu ini, jangan sok pintar jadi anak.”
“Saya telah membaca banyak buku Psikologi, saya tahu jika Mama menyimpan sesuatu, Mama pasti kenal dengan sosok Bu Mira. Karena Bu Mira juga terlihat menyimpan sesuatu, terlebih lagi, disini ada satu anak yang sepertinya disuruh untuk mendekati saya.”
“Mendekati kamu?” Mama Egar terdiam sejenak, ia mengumpat dalam bathin “Sepertinya Mira telah melakukan banyak hal untuk merubah Egar, sebagaimana ia mencoba merubah Refan.”
“Kamu harus keluar dari sekolah itu, titik...”
“Tidak, Mama harus jelaskan sesuatu, maka saya akan keluar sesuai permintaan Mama,” Egar tak mau kalah.
“Baiklah, Mama akan jelaskan agar kamu sadar. Kamu tahu, Mira adalah orang yang berpengaruh dalam kehidupan Refan. Mira adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian Refan.”
Tut..tut..tut..
Telepon dimatikan, Egar mencoba menelepon balik, namun selalu ditolak. Sepertinya Mamanya tidak tertarik untuk menjelaskan cerita kelanjutannya.
“Bu Mira, orang yang bertanggung jawab atas kematian Refan?” pekik Egar dengan bingung. Kini ia menarik banyak kesimpulan, “berarti Bu Mira kenal dengan Refan? Dan dia menceritakan Refan kepada Awan?” bathinnya.
Egar berdiri dan berjalan menuju pohon besar itu, ia tahu jika disitu ada seseorang, ternyata Awan telah lama ada di balik pohon itu.
“Kamu selalu membuntuti saya, sebenarnya apa mau kamu?”
Awan terkesiap, ia terkejut saat Egar tahu jika ia bersembunyi di balik pohon, “Eh, tadinya aku cuman mau ngajak kamu ke ruang seni, tapi melihat kamu asyik menelepon jadi aku .....”
“Apa yang kamu tahu tentang Refan?” tanya Egar sambil mencengkram krah baju Awan.
“Gar...”
“Kamu bohong, kamu tahu banyak tentang Refan bukan dari Mamang, tapi dari Bu Mira kan? Kalian punya hubungan khusus, sebenarnya apa yang kalian rencanakan pada saya?”
Egar terlihat marah, masa lalu tentang Refan sangat sensitif baginya.
“Egar aku...”
“Arkhh....” Egar menyiapkan kepalan dan hendak memukul Pipi Awan, namun tiba-tiba ia  melihat bayangan Refan dalam diri Awan. Ia menghentikan pukulannya, tak tega rasanya memukul dia. Ia melihat jika Awan yang kini ada didepannya, sangat mirip dengan Refan.
Egar melepaskan cengkramannya, lalu meninggalkan Awan yang tertegun, Awan tak habis pikir jika Egar ternyata sangat membenci Refan. Tapi dari lekuk wajahnya, sepertinya ada sesuatu lain yang tergambar, yaitu sebuah kerinduan yang mendalam.