Ritus Kesunyian (25)



***
Tiga hari kemudian, di rumah Egar
Meski luka di keningnya masih belum sembuh benar, Egar sudah mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah hari ini. Ia tak ingin melewatkan banyak waktu untuk mempelajari sistem yang dibuat disekolah itu, sekolah semacam itu baginya adalah sampah, harus segera di hilangkan dari bumi ini, agar tidak melahirkan orang-orang seperti Refan, baginya Refan adalah orang yang sangat kejam.
“Aden yakin sudah sehat betul?” tanya Mamang.
“Mamang tidak usah banyak tanya, jika saya sudah meminta untuk masuk lagi, berarti saya sudah sehat, kapan Mamang bisa menjadi cerdas,” jawab Egar dengan ekspresi datar.
Mamang hanya menelan ludah, lalu ia mengantarkan anak majikannya itu menuju sekolah, suasana hening di dalam mobil, tiada kata terucap, mereka hanya diam tak bersuara, sesekali Mamang melihat wajah Egar dari balik kaca spion mobil. Disisi lain ia geram dengan anak majikannya itu, namun disisi lain ia kasihan. Dua perasaan yang bercampur baur.
Di dalam kelas sebelas bahasa
Sementara di dalam kelas, Awan dan teman-temannya terpaku sambil memegang selembar koran yang baru saja dibeli Sofia, berita lanjutan tentang Egar mulai termuat.
“Ja..jadi Egar itu anak dari Prof. Wahliya? Oh my god,” pekik Fajar.
“Jadi dia sekolah disini, hanya untuk.......,” sambung Fian.
“Mengetahui kejelekan sekolah ini?” Sahut Edo.
Awan terdiam. Ia tak berkomentar, apa benar demikian? Apa benar Egar hanya ingin mempelajari buruknya sekolah ini? Seperti statement yang diucapkan Ibunya dalam surat kabar ini.
Tak lama kemudian, Egar memasuki kelas, dengan langkah ringan ia melewati beberapa siswa yang tengah terpaku melihatanya. Mereka juga baru tahu jika Egar adalah anak dari salah satu tokoh Pendidikan yang sangat terkemuka di negara ini, bahkan Ibunya kemungkinan akan mengisi posisi sebagai menteri Pendidikan jika Presiden melakukan resufle kabinet.
Egar duduk di kursinya, disebelahnya Sofia tengah asyik berdandan, Egar tak memperdulikan Sofia, begitu pula dengan Sofia. Lalu, Awan berjalan menghampiri Egar sambil menyodorkan koran itu.
“Egar, apa benar....”
“Benar,” Egar memotong, “Apa yang kalian baca di koran itu benar. Saya memang tidak pernah tertarik dengan sekolah ini, tidak sedikit pun,” lanjutnya.
“Kamu memang aneh, Gar. Ayah kamu bilang, kamu tertarik dengan sekolah ini.”
Egar memandang ke arah Awan.
“Ayah? Darimana kamu tahu Ayah saya?”
Awan terkesiap, lagi-lagi ia lupa mengatakan sesuatu yang harusnya ia tidak katakan.
“Eee.. aku tahu dari Mamang,” jawabnya.
“Saya sangat benci orang yang sok kenal seperti kamu.”
Lalu sebuah kepalan tangan melayang mengenai Pipi kiri Egar. Egar pun tersungkur dari tempat duduknya.
“Loe jadi anak jangan sok banget, gua nggak peduli loe anak siapa, gua benci sifat arogan loe,” ucap Edo yang baru saja menghadiahi Egar sebuah pukulan.
“Edo...” sergah Awan sambil menarik tangan Edo. “Do, loe jangan suka main tangan donk.”
Tak ada satu pun siswa yang menolong Egar. Lalu Awan menghampirinya dan membantunya berdiri, tapi dengan segera Egar menepis tangan Awan. Egar berdiri sendiri dan menatap wajah Edo.
“Kamu akan menyesal karena pernah melakukan ini ke saya,” ancam Egar, lalu ia berjalan meninggalkan kelas sambil memegangi pipi kirinya.
Awan mencoba menenangkan Edo, ia tak tahu jika akhirnya akan seperti ini. Ia pun lantas menyusul Egar yang berjalan pergi entah kemana.
“Egar...,” panggil Awan sambil berlari mengejarnya.
Dengan nafas terengah-engah ia akhirnya berhasil menyusul Egar yang tengah berdiri sendiri di samping kolam ikan.