Perayaan





Kenapa orang perlu melakukan perayaan? Jawaban atas pertanyaan tersebut saya dapat ketika mengikuti kuliah umum Ibu Anni Iwasaki, orang Indonesia yang menikah dengan orang Jepang, lama menetap di Jepang, dan selalu membawa “inspirasi dari Jepang” untuk Indonesia.

Beliau sangat humble. Selepas mengikuti kuliahnya, saya kemudian berkomunikasi melalui facebook. Pertanyaan-pertanyaan sederhana saya dijawab melalui kolom komentar. Ketika Gus Sholah menggagas konvensi Rakyat Capres 2014, Bu Anni Iwasaki masuk dalam jajaran nama yang diperhitungkan menjadi pemimpin nasional, selain karena beliau adalah kader Partai Golkar.

Yang saya ingat dari kuliahnya, bahwa ciri negara maju dan aman adalah banyaknya perayaan atau festival. Jepang termasuk rajin melakukan perayaan. Bahkan ada perayaan bernama Seijin no Hi (Perayaan usia dewasa), yang menandakan masuknya usia dewasa. Perayaan tersebut diadakan hari senin kedua bulan Januari diperuntukkan bagi setiap anak yang tahun itu memasuki usia 20.

Di awal April, juga ada perayaan Hanami, yaitu memperingati mekarnya bunga sakura. Orang Jepang memperingatinya dengan duduk bersama di bawah pohon sakura. Betapa pentingnya arti pohon sakura bagi orang Jepang, sampai negaranya berjuluk Negeri Sakura. Serta masih banyak lagi perayaan di bulan-bulan lain.

Perayaan tidak berarti hanya pesta tanpa makna. Perayaan menandakan stabilitas, baik dalam skala individu maupun sosial. Negara-negara konflik, ekonomi terpuruk, kesejahteraan rendah, tidak mungkin melakukan perayaan. Adanya sebuah perayaan menandakan bahwa daerah tersebut aman, tidak ada ancaman mara bahaya, orang bisa berbahagia, hanyut dalam perayaan tersebut.

Inipula agaknya yang menjadi spirit Ridwan Kamil dalam membangun Kota Bandung, yang disebutnya Index of happiness, indeks kebahagiaan masyarakat. Menurutnya Kota yang maju adalah kota yang masyarakatnya bahagia. Makanya ia mendesain berbagai taman tematik, trotoar yang bagus, agar masyarakat bisa menikmati kota tanpa perlu merogoh kocek yang mahal.

Ide Kang Emil banyak ditertawakan, terlalu melawan arus. Tapi saya setuju dengan idenya. Karena masyarakat sudah dibebani oleh biaya hidup, biaya makan, pendidikan, air, listrik, dll tentunya mereka tidak perlu lagi terbebani biaya tambahan untuk sekedar jalan-jalan menikmati kota.

Jika pemerintah tidak menyediakan tempat bagus, kita bisa prediksi kemana mereka akan menghabiskan waktu. Ke tempat hiburan, cafe, mall, dll yang butuh biaya mahal. Jika jalan, trotoar, dan  tranportasi tidak dibenahi, maka banyak orang akan berfikir untuk membeli kendaraan baru agar bisa menikmati setiap jengkal kota. Ini tentu butuh biaya.

Kebijakan perbaikan taman, trotoar, dan transportasi massal dianggap tidak secara langsung membantu ekonomi masyarakat dibandingkan program dana pinjaman, atau bantuan langsung tunai. Namun sebenarnya tidak juga, jika fasilitas membaik, ongkos pun juga menurun, termasuk “ongkos gengsi” yang harus terpenuhi. Warga pun akhirnya bisa merayakan kotanya.

Namun perayaan skala individu juga perlu diperhatikan. Misalkan, merayakan ilmu pengetahuan. Anda perlu ingat banyak orang Indonesia yang mengabdikan dirinya untuk ilmu, terutama sains dan teknologi, tidak bisa merayakan ilmunya karena terkendala iklim birokrasi serta kebijakan politik yang tidak memihak.

Misalkan, mereka para saintis, harus berkarir di negara lain demi “merayakan ilmunya”. Cara merayakan ilmu adalah dengan menciptakan karya-karya monumental berupa penemuan-penemuan di bidang tersebut. Disini peran negara begitu penting.

Kita ingat saja selama lebih dari 30 tahun, Ilmu Hukum di Indonesia hanya sekedar teks mati. Karena apa? Karena hukum tidak lagi berpijak pada teori, melainkan pada kehendak rezim. Orang bisa keluar masuk penjara jika rezim berkehendak, orang bisa tiba-tiba meregang nyawa, hilang tak berbekas tanpa adanya proses peradilan.

Para intelektual kritis dibungkam, Jurnalis yang bekerja sesuai pakemnya juga dibungkam, medianya dibredel. Buku-buku yang terbit pun dibatasi. Ruang perayaan atas karya pun dibatasi, bahkan dimatikan. Maka hanya orang aneh yang berfikir bahwa rezim orde baru lebih baik dari reformasi.

Artinya, perayaan itu dari berbagai segi. Tidak semata perayaan untuk memperingati hari bersejarah, atau perayaan syukuran atas sesuatu. Namun bagaimana setiap individu mampu merayakan hidupnya. Perayaan itu bisa berbuah karya yang bisa diekspresikan tanpa berbagai tekanan dan ancaman.

Dengan adanya perayaan, berarti kondisi sebuah negara itu benar-benar kondusif. Tidak takut ada tekanan, ancaman, pembatasan. Orang bebas berekspresi, bereksperimen, sehingga menghasilkan banyak karya.

Sehingga perayaan itu menjadi barometer tersendiri, apakah negara tersebut kondusif, warga merasa aman, merasa nyaman untuk berfikir dan berkarya. Barangkali itulah ciri negeri impian, yang setiap orang punya ruang untuk merayakannya. []

Blitar, 6 Januari 2017
A Fahrizal Aziz