Politik Pecah Belah, Cara Lama yang Terus Digunakan




Politik pecah belah adalah gaya lama, dan selalu dipakai. Meski beda konteks. Tujuannya, jelas untuk mengelompokkan, sekaligus menutup ruang dialektika. Bayangkan, ketika seseorang dilabeli cebong dan kampret, segala bentuk diskusi yang argumentatif selalu mentah dan percuma.

Cebong tak akan pernah bisa percaya ucapan kampret, begitupun kampret akan menyebut segala ucapan cebong tak bisa dipercaya. Cebong dan kampret adalah model politik pecah belah era kini.

Lantas apa yang terjadi, dialog jadi tidak jalan. Sentimen menguat, akhirnya proses politik berjalan tidak sehat. Tidak berdasarkan keilmuan, hanya berdasarkan perasaan suka dan tidak suka. Tidak lagi muncul kritik, hanya nyinyiran tak membangun.

Ketika VOC datang ke bumi Nusantara, mereka juga memainkan politik identitas yang memecah belah, sebut saja devided et impera. Hal itu dijalankan agar mudah mengelompokkan, sekaligus memetakan, sekaligus sebagai acuan membuat kebijakan.

Meksi cara ini tidak selalu berhasil, sebab akhirnya memunculkan banyak kelompok. VOC sendiri sampai mengklasifikasikan hingga 40 kelompok. Mereka pun kewalahan sendiri, hingga akhirnya membagi masyarakat dalam tiga kelompok saja : golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra.

Kalangan Bumiputra pun masih dipecah lagi, golongan santri dan abangan, yang akhirnya tak jarang juga melecut konflik, apalagi setelah dibumbui agama. Golongan santri menilai golongan abangan sebagai kelompok animisme dan dinamisme, musyrik dan semacamnya.

Politik pecah belah itulah yang membuat panjajah menang. Mereka tinggal duduk santai, rakyat Bumiputra yang dijajahnya sibuk bertengkar sendiri.

Meskipun tak sedikit tokoh yang tercerahkan, dan sadar bahwa mereka diadu domba. Tokoh-tokoh ini kemudian melakukan perlawanan pada penjajah. Salah satu puncak kesadaran itu barangkali ketika sumpah pemuda dideklarasikan pada 28 Oktober 1928, dan ketika Pancasila ditemukan, terutama pada sila ketiga : persatuan Indonesia.

Istilah Bhinneka Tunggal Ika kembali digaungkan, untuk mengingatkan betapa sebenarnya kekuatan bangsa ini terletak pada persatuan. Penjajahan dengan mulus terjadi karena rakyat mudah diadu domba.

Inilah yang sepertinya terjadi sekarang ini, dengan benturan yang diistilahkan cebong dan kampret, dengan sentimen yang kuat, namun tak berisi. Sehingga sibuk bertengkar membela jagoan politiknya.

Sehingga, orang sibuk bertengkar. Memupuk antipati. Lupa jika negara sedang dikoyak oleh kekuatan besar. Mirip seperti VOC dulu, bedanya secara fisik tidak hadir. Tetapi kekuasaannya menggerus kekayaan bangsa yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat.

Peluru kritik pun jadi tak terarah. Ibarat pistol, yang seharusnya digunakan untuk menembak musuh, justru digunakan untuk saling tembak teman sendiri. Karena kita sudah sulit membedakan mana teman mana musuh.

Suasana politik semacam ini tentu tidak sehat. Masing-masing pendukung mengeras, fanatik, dan sulit melihat celah kesalahan dari calon yang didukungnya. Selain itu, kritik sebagus apapun jadi tak didengar, ketika langsung dilabeli cebong dan kampret.

Serangan yang ada pun bukan lagi serangan yang bersifat ilmiah, namun lebih sentimentil. Menyerang pribadi dan privasi. Isu-isu yang muncul juga tidak mengarah pada solusi, namun lebih menguat pada rasa antipati.

Siapa yang menggaungkan politik adu domba ini pertama kali? Entahlah. Namun sudah banyak yang menggunakannya, banyak yang tersedot, kita lihat saja, betapa mudahnya label cebong dan kampret disematkan.

Label itu terdengar unik dan lucu, namun di balik itu ada tembok besar yang menutup rasa percaya satu sama lain, lebih jauh lagi rasa benci satu sama lain. Sehingga pada puncaknya, jika tidak disikapi dengan bijak, bisa terjadi ledakan konflik.

Ayo bangun. Jangan terperdaya. Sudah cukup masyarakat dijadikan dadu dan di adu domba, sejak zaman VOC menduduki tanah nusantara. Beratus tahun mereka berpesta, sementara bangsa kita hidup menderita. Akankah kita belajar dari sejarah itu?

Jimat-jimat sakti seperti Pancasila atau slogan Bhineka Tunggal Ika harus kembali digaungkan, dihayati, dan diamalkan. Kita satu, jangan mau dibuat retak hanya karena momentum politik, atau hanya karena perbedaan politik. []

Sleman, 27 Maret 2019
A Fahrizal Aziz
loading...