Bagaimana Masyarakat Menentukan Pilihan Pada Caleg?



| Seri catatan pemilu 2019
| Selasa, 9 April 2019
merbuh.sideka.id

Nanti coblos yang mana? Tanya saya ke beberapa orang, dari beragam latar usia, pada pelbagai kesempatan, yang kebetulan sedang berbincang soal politik.

Idealnya masyarakat mencari tahu, siapa saja kandidatnya, lalu mempelajari rekam jejak, dan lantas menentukan pilihan pada caleg yang dirasa mumpuni.

Tetapi itu idealnya. Nyatanya, sulit dan nyaris mustahil masyarakat melakukan itu. Terlalu banyak calegnya, terlalu membutuhkan waktu untuk mempelajari satu per satu, dan juga tidak semua bisa dicari tahu. Infonya sangat minim, bahkan ada yang tak dikenal.

Apalagi, memangnya masyarakat tidak sibuk? Ya, masyarakat sibuk bekerja, dan nyaris tak ada waktu untuk mencari tahu caleg. Calegnya harus datang sendiri, ke rumah rumah kalau perlu. Atau via tim suksesnya, untuk memperkenalkan.

Caleg yang masuk dengan tangan kosong, biasanya kurang memberi kesan, bagi sebagian kalangan. Bagi kalangan yang lain justru bagus. Tergantung yang didatangi.

Agar berkesan, ya mungkin titip amplop berisi "gambar" Soekarno-Hatta, I Gusti Ngurah Rai atau Ir. DJuanda Kartawidjaya. Tetapi itu rawan kena Bawaslu. Tidak boleh. Terlalu beresiko. Apalagi yang dikasih orang yang kritis pada situasi.

Jadi nitip stiker saja, kaos, kalender, atau sekedar gula beserta kopinya. Kira-kira apa itu dibolehkan? Ya kalau bisa beserta beras dan telur mentah. Masyarakat kita pada dasarnya suka memberi antar tetangga.

Dalam politik, tak tahunya itu jadi masalah serius. Tidak saja bagi kontestan pemilu, namun selepasnya, setelah memiliki jabatan publik.

Sebagian caleg lainnya memanfaatkan jaringan organisasi, komunitas, kelompok profesi atau kelompok pengajian, yasinan, dan perkumpulan ibu-ibu.

Masuk ke forum-forum, memperkenalkan diri, memperkenalkan gagasan, dan sebagian lagi melakukan kontrak politik. Kontrak politik ini umumnya sah-sah saja, jika kaitannya dengan kepentingan umum.

Contohnya, kelompok itu akan mengupayakan sejumlah suara untuk mendukung caleg tersebut, namun caleg itu harus memperjuangkan beberapa kebijakan jika nantinya terpilih.

Ini menarik. Hubungan caleg dan konstituen nantinya tidak berhenti sebatas hanya demi suara, namun berkelanjutan. Saling mengawal. Fase menuju demokrasi yang ideal.

Menarik pula jika caleg tersebut adalah anggota, pegiat, atau aktivis organisasi/kelompok tersebut. Caleg yang punya latar belakang organisasi, tentu jadi pertimbangan tersendiri.

Ada yang menyebut jika caleg itu hanya akan memanfaatkan organisasinya. Padahal organisasinya juga bisa memanfaatkan caleg tersebut, apalagi jika terpilih. Keduanya bisa saling memberi manfaat.

Justru kedepannya, caleg-caleg bersih bisa muncul dari organisasi. Mereka sudah punya rekam jejak disana, punya ketokohan, punya potensi suara.

Namun tidak semua orang ikut organisasi atau komunitas, dan tragisnya yang ikut pun belum tentu bersedia mencoblos secara "gratis". Jadi, itulah kenapa masyarakat masih banyak mempertimbangkan pilihan pada caleg yang memberi "sesuatu".

Walhasil yang menang hampir selalu yang punya modal besar. Modal untuk membiayai tim sukses, menyetak baliho, kalender, stiker, kaos dan semacamnya. Mengongkosi saksi dan mungkin juga pemilih.

Sisanya, mungkin memilih karena masih ada hubungan keluarga. Namun berapa jumlahnya? Atau memilih karena kebetulan kenal dengan caleg bersangkutan, satu suara untuk teman sendiri.

Kira-kira, dari beberapa kemungkinan di atas. Manakah yang paling banyak berdampak? Selamat memasuki masa-masa akhir kampanye pemilu 2019. []

Salam,
Ahmad Fahrizal Aziz
Klik bit.ly/catatanFahrizal