Keterpilihan Jokowi, diantara Tingginya Golput



| Seri catatan Pemilu 2019
sumber foto : liputan6

Jokowi memenangi pilpres 2014 ketika angka golput tertinggi dalam sejarah, yaitu 30% (Penelitian Sri Yuniarti). Bayangkan, 30% DPT tidak memilih. Sementara Jokowi menang sangat tipis dari Prabowo, jaraknya hanya 6,3% saja.

Golput pada pilpres 2014 jauh lebih tinggi, bahkan dibanding pada awal mula istilah golput itu muncul pada 1971. Kala itu angka golput kurang dari 7%. Dari pemilu ke pemilu, angka golput terus naik.

Sayangnya, suara dihitung berdasar yang mencoblos, bukan berdasar DPT. Termasuk untuk Pileg. Dengan angka golput sebesar itu, dan kemenangan yang setipis itu, legitimasi presiden terpilih tidak bisa dianggap kuat.

Namun pasca reformasi ini, Jokowi bisa disebut sebagai Presiden berlatar sipil yang paling mulus jalannya, dibandingkan presiden sipil sebelumnya, yang bad landing secara politik. Gus Dur malah dilengserkan.

Padahal, idealnya kepemimpinan di era demokrasi adalah kepemimpinan sipil. Meski ada yang menyebut, sejak awal merdeka Indonesia memang sudah memilih demokrasi, dalam bentuknya. Termasuk era orde baru, yang disebut demokrasi Pancasila.

Beberapa bulan selepas kemerdekaan, parpol-parpol bermunculan, imbas dari Maklumat no.x yang diterbitkan wakil presiden Moh. Hatta. Kala itu, di usianya yang masih belia, Indonesia sudah memilih demokrasi liberal, yang multipartai.

Padahal ekonomi sedang carut marut, angka buta huruf masih tinggi, sementara Belanda dan sekutunya masih berhasrat kembali menguasahi tanah Indonesia.

Bedanya dengan demokrasi sekarang ini, dulu kabinet dijalankan Perdana Menteri. Jatuh bangun hingga 17 kali dari 1945 hingga 1955. Bayangkan, dalam kurun waktu 10 tahun kabinet berganti hingga belasan kali. Sampai-sampai Bung Karno menyebutnya buang-buang waktu.

Sikap keras Bung Karno selepas pemilu 1955, dengan menerapkan demokrasi terpimpin, adalah salah satu imbas dari demokrasi liberal kala itu, yang mana departemen/kementrian menjadi potongan kue yang dibagi-bagi, sehingga saling berebut, kabinet berganti-ganti, program pun tak berjalan dengan baik.

Lewat demokrasi terpimpin, Bung Karno menjadi bertangan besi. Buya Syafii Maarif menyebut, era inilah otoritarianisme dimulai, hingga berlanjut ke era orde baru.

Bung Karno menerbitkan manifesto politik (manipol) Nasakom. menangkapi lawan politik yang tidak sejalan, dan menyebut diri sebagai presiden seumur hidup. Sangat jauh dari nilai demokrasi yang mana semestinya kekuasaan presiden dibatasi. Sebab itulah Bung Hatta memilih mundur sebagai wakil presiden setahun berikutnya.

Karena sikapnya itulah, Bung Karno banyak mendapatkan perlawanan, sampai diberhentikan sebagai presiden pada sidang Istimewa MPRS 1967, yang diketok langsung oleh Jenderal A.H Nasution.

32 tahun lamanya Indonesia berada di bawah kepemimpinan Pak Harto, dengan menerapkan demokrasi pancasila, yang bertangan besi pula. Banyak yang menilai, disatu sisi, kondisi Indonesia cukup stabil di bawah tangan besi Pak Harto.

Artinya, Indonesia lebih cocok dipimpin dengan cara keras, dengan sistem otoritarianisme. Bukan demokrasi liberal, yang telah digulirkan sejak awal mula kemerdekaan.

Namun sistem itu terbuka kembali, pasca reformasi. Pemilu 1999 diikuti 48 partai politik. Kran keterbukaan dibuka kembali, sebab sejak orde baru berkuasa, diberlakukan fusi (penggabungan) menjadi dua parpol dan satu golongan.

Babak baru demokrasi liberal multipartai kembali dibuka. Presiden mulai dijabat kalangan sipil. Sekalipun reformasi dianggap keinginan rakyat, nyatanya para capres berlatar sipil tumbang satu per satu pada pilpres 2004, dan masyarakat kembali menghendaki untuk dipimpin presiden berlatar belakang militer.

Selama dua periode, bahkan pada pilpres 2009, Susilo Bambang Yudhoyono meringkus dua calon lainnya dalam satu putaran saja. Apa itu berarti, rakyat Indonesia memang belum siap dipimpin kalangan sipil dan merindukan masa-masa orde baru?

Sepertinya anggapan itu terbantahkan ketika Jokowi-JK, duet sipil itu memenangkan pilpres 2014. Hampir tak menduga jika ada calon dari kalangan sipil yang begitu kuat. Namun perlu diingat, di balik kemenangan Jokowi-JK ada 30% angka golput.

30% ini jika dihitung suara, bisa jadi berat ke Jokowi, atau justru ke Prabowo. Artinya masih ada kemungkinan begini : di antara 30% itu, mungkin sebagian besar ke Prabowo, hanya saja suaranya tak tersampaikan.

Atau bisa jadi juga, 30% itu tidak menginginkan Jokowi maupun Prabowo. Sehingga kemenangan Jokowi pada pilpres 2014 menimbulkan pertanyaan besar, apakah memang mayoritas rakyat menghendakinya?

Apalagi, melihat begitu kencangnya serangan di era kepemimpinannya selama ini, jika dibandingkan serangan-serangan di era Susilo Bambang Yudhoyono.

Pemilu 2019 ini, semoga angka golput berkurang, dan pemenang pilpres unggul selisih lebih dari 20%. Sehingga jika ditotal antara angka golput dan suara yang kalah, tidak menggoyang legitimasi presiden terpilih.

Selamat memasuki hari tenang jelang pemilu 17 April 2019.

Blitar, 13 April 2019
Ahmad Fahrizal Aziz
Klik bit.ly/catatanFahrizal