Tidak Ada Istilah Netral




Oleh A Fahrizal Aziz

(Pendiri Komunitas Muara Baca)


Dalam realitasnya, istilah netral sangat sulit dipahami. Sebab tiap orang pasti memperjuangkan suatu hal, bahkan penyebutan "kelompok netral" itu sendiri sudah membentuk satu kubu baru.



Kadang kala istilah netral justru hanya digunakan untuk mereka yang sebenarnya tak memahami ideologi atau apa yang tengah diperjuangkan kelompok lain.



Sebut saja, ada kelompok A dan B, lalu ada yang mengklaim diri netral dari dua kelompok tersebut. Bisa jadi karena kurangnya pemahaman pada kelompok A dan B, sehingga tidak mau ambil pusing. Lebih baik netral saja.



Meskipun, netralitas juga bisa bertujuan menjadi penengah, dengan catatan : sedang terjadi sengketa antara kubu A dan B. Jikalau netralitas meletupkan konflik baru, maka apa bedanya?



Mereka yang mengklaim netral, bisa jadi terjebak dalam pandangan seperti ini : bahwa berkubu selalu menciptakan konflik. Bahwa kubu-kubu, kelompok, golongan, atau semacamnya, selalu bergesekan.



Sebab itulah menjadi netral sangat menggiurkan, meski tidak jelas juga apa sebenarnya yang dimaksud netral yang sebenarnya netral?



Misalnya ada istilah netral dalam pemilu. Apakah itu berarti tidak menggunakan hak pilih? Apakah tidak akan memberikan suara pada calon-calon yang tersedia?



Atau netral secara ideologis, sebutlah dalam pengamalan cara berperilaku keagamaan. Apakah netral diartikan, tidak menjalankan cara beragama berdasar madzhab tertentu? Sekalipun mau tak mau selalu diidentikkan dengan kelompok, aliran, golongan, sampai ormas tertentu, ketika apa yang kita lakukan sama dengan apa yang menjadi pijakan kelompok tersebut, sekalipun kita tak tergabung di dalamnya.



Netral justru bisa jadi tanpa pijakan, tanpa pemahaman yang cukup, tanpa sesuatu yang hendak diperjuangkan, tanpa mendalami dan menghayati konsepsi pikiran dan jiwanya.



Netral bisa bermakna, tiada kesiapan untuk berdialektika dengan yang berbeda, atau rasa takut untuk berkompetisi. Terjebak dalam romantisme perdamaian yang absurd, yang justru menjadi sumbu konflik baru.



Tak ada kelirunya berkelompok, apalagi dalam konteks gerakan sosial masyarakat. Terbuka bahwa kita bagian dari golongan A atau B, dengan spirit bahwa berbeda bukan sebuah ancaman.



Dengan mengidentifikasikan diri sebagai kelompok tersebut, kita memperjelas sikap, pikiran, dan apa yang kita perjuangkan. Bukan berlagak netral tanpa sebuah konsepsi yang jelas, terjebak dalam wilayah abu-abu yang kurang produktif. []



Blitar, 10 Maret 2019
loading...