Banyak hal berawal dari kata-kata
Januari, 2014
Di Ruang Konferensi
Konferensi Pers perdana Raka and friends atas single lagu mereka berjudul “Sang Putri” berlangsung cukup antusias. Banyak wartawan memadati ruang konferensi. Produser mereka, yang juga musisi papan atas tanah air menyebutkan bahwa Raka adalah salah satu musisi yang sangat berbakat dan prospek masa depannya begitu bagus. Di usianya yang masih muda dia sudah bisa menciptakan banyak lagu yang begitu indah.
Di sesi awal, Raka menjelaskan secara umum makna dari lagu tersebut, kemudian dibuka tanya jawab. Para wartawan yang sebagian besar dari media hiburan tersebut, berebut mengajukan pertanyaan.
“Sejak kapan anda belajar menciptakan lagu?” tanya salah seorang wartawan.
“Hmm... sejak kelas XII SMA,” jawab Raka dengan singkat.
“Berapa lama anda membuat lagu ini?” tanya wartawan yang lain.
“Kurang lebih.. satu bulan.”
“Siapakah inspirasi dari lagu ini, maksudnya, barangkali ada sosok yang membuat anda membuat lagu romantis seperti ini?” tanya wartawan yang lainnya.
Wajah Raka memerah. Dua teman di sebelahnya berdehem, begitu pun dengan Sang produser. Jawaban atas pertanyaan dari wartawan tersebut adalah kunci produktifitas Raka selama ini.
“Hmm... kalau itu, saya masih belum bisa menjawab,” Raka tersenyum.
“Huuuuu..,” Para wartawan serentak menyorakinya.
***
Di Gedung Galeri
“Dia pelukis berbakat,” Parijan Picasso, Kurator sekaligus Promotor pameran itu menjelaskan sebuah lukisan wajah perempuan kepada pengunjung. Disampingnya, Achyat Barizi, sang empunya lukisan hanya tersenyum.
“Lukisan ini benar-benar hidup. Bibir, hidung, tatapan mata, dan semuanya. Hebat sekali. Ini bisa menyanyingi lukisan monalisanya Da Vinci,” puji salah seorang kolektor lukisan yang berdiri di depan mereka berdua.
“Saya berani menawar lukisan ini sebesar... hmm... sepuluh juta, bagaimana?” lanjut kolektor itu.
Parijan terperangah mendengarkan penawaran itu. Angka sepuluh juta adalah angka yang besar untuk pelukis muda seperti Achyat. Apalagi, dia termasuk pelukis yang baru memamerkan lukisannya di galeri Picasso miliknya.
“Ma.. maaf Pak. Tapi saya tidak menjualnya,” jelas Achyat agak canggung.
Untuk pameran tersebut, ada lima lukisan Achyat yang terpajang, tapi yang satu itu hanya sebagai pajangan. Sudah tiga orang menawarnya. Pertama, salah seorang rektor di kampus bonafit menawarnya lima juta, kedua seorang pengusaha ritel menawarnya tujuh juta, sekarang seorang kolektor yang juga konglomerat di negeri ini menawarnya sepuluh juta. Tapi Achyat tetap tegas mengatakan tidak dijual.
“Bah! Lalu buat apa kau pajang, nak? Okelah 20 juta, bagaimana?” kolektor itu belum menyerah.
Achyat hanya tersenyum sungkan, dan dengan isyarat penuh maaf, Achyat berupaya menjelaskan kalau lukisan itu tidak dijual.
“Katanya lukisan ini untuk seseorang, maklum lah Pak,” Parijan menengahi. Kolektor itu hanya menggeleng gelengkan kepala dan berjalan menuju lukisan berikutnya.
“Memangnya untuk siapa lukisan ini? sampai-sampai tidak dilepaskan, padahal penawarannya besar lho,” dari belakang, Shivia teman kuliahnya, datang dan menghampiri Achyat.
“Lukisan ini miliki seseorang,” jawab Achyat sambil menunjuk arah lukisan “Yang ada dalam lukisan itu...,”
“Pacar kamu?” potong Shivia.
Achyat menggelengkan kepala.
“Okelah. Mungkin gadis pujaanmu. Karena cinta kau menolak uang 20 puluh juta, itu sangat mengharukan, bukan?” Shivia menggoda. Ia tersenyum jahil dan sambil berjalan meninggalkan Achyat.
Di depan lukisan itu, Achyat tersenyum sumringah. Pada saatnya, lukisan ini akan jatuh ke orang yang tepat, bathinnya.
***
Dari tempat yang berbeda, Raka dan Achyat berdiri di depan cermin. Hari ini menjadi hari yang membahagiakan bagi mereka berdua. Raka baru saja memperkenalkan single lagu terbarunya, yang dia ciptakan sendiri mulai dari lirik, nada, dan aransemennya. Sementara Achyat, lima lukisannya berhasil masuk seleksi tim kurator galeri Picasso dan bersanding dengan lukisan dari seniman lainnya.
Raka membuat sebuah lagu berjudul “Sang Putri” yang terinspirasi dari seseorang yang sangat berjasa dalam hidupnya. Yang mengajarkan kata-kata, mengajarkan puisi, hingga akhirnya ia berhasil membuat lagu sendiri. Padahal, Raka termasuk orang yang tidak begitu tertarik dengan puisi.
Sementara Achyat, dari lima lukisannya yang terpajang, ada satu yang sangat tinggi apresiasinya, bahkan tak sedikit yang menyebut lukisan itu sebagai “monalisanya Indonesia”. tentu Achyat sangat senang sekali. Lukisan itu ingin ia persembahkan dengan seseorang yang menjadi inspirasi terbesar dalam karirnya sebagai pelukis. Seseorang yang menyukai sastra dan kini sedang kuliah di Kota Malang.
Raka dan Achyat mengambil ponselnya, dan mencari satu nama yang sama, mereka kemudian menelepon nomor itu.
“Janeva,” ucap mereka secara bersamaan.
Raka tersambung terlebih dahulu ke ponsel Janeva, sementara Achyat masih menempelkan di kuping kirinya, sampai kemudian terdengar bunyi : nomor yang anda hubungi sedang sibuk.
Achyat mematikan panggilan dan meletakkan ponselnya diatas meja. Ia kemudian merebah di atas kasur, sesaat membayangkan wajah Janeva dan matanya akan terpejam dengan sendirinya karena kantuk yang tak tertahan.
***
Di balik telepon, Raka dan Janeva bercengkrama seru. Jarak mereka lumayan jauh. Raka di Bandung dan Janeva di Malang. Mereka mengawalinya dengan basa basi, baru kemudian Raka mengajukan pertanyaan inti.
“Nev, loe tadi dengerin single gue di radio kan?”
Janeva mencoba mengingat. Dia lupa kalau siang tadi single Raka diputar serentak di 100 radio seluruh Indonesia. Dua hari sebelumnya, Raka sudah menginformasikan itu kepadanya. Tapi karena padatnya aktivitas di kampus, Janeva benar-benar lupa.
“Oh... iy... iya.. keren lagu kamu. Nuansa rocknya ngena banget, Ka,” jawab Janeva dengan asal, ia tak ingin Raka bersedih karena ia lupa mendengarkan lagu itu.
“Ha? Kok rock?”
“Eh, maksudku, lagu persahabatan, Raka and friend, keren banget.”
“Kok persahabatan sih Nev?”
“Eh.. hmm...”
“Loe nggak dengerin ya?”
“Hehehe, sory ka, tadi ada tugas liputan. Tapi tenang aja, aku bakal download lagu itu kok.”
“Hmm.. ya udah deh, met malem ya Nev. Met istirahat,” pungkas Raka mengakhiri percakapan.
Raka merebahkan tubuhnya diatas kasur dan meletakkan ponselnya di balik bantal. Rasa kecewa menyergap setelah tahu kalau Janeva tidak mendengarkan pemutaran perdana lagu “Sang Putri” yang ia ciptakan sendiri. Raka kemudian memutar kembali lagu itu dan membayangkan sosok Janeva, berharap akan menjadi teman dalam tidur lelapnya malam ini.
-- Bersambung