Catatan Tentang Patah Hati




Banyak orang menilai jika patah hati selalu berkaitan dengan asmara. Sebagian besar mungkin iya, tapi tidak semua. Hati yang dimaksud pun bukan hati secara biologis (liver), tapi hati (qolb) yang kita persembahkan, entah pada seseorang, kelompok, sampai suasana.

Kita pun bisa patah hati karena cinta yang tak terbalas, karena penghianatan, dan sekelumit persoalan asmara lainnya. Namun kita juga bisa patah hati dengan suasana, keadaan, nasib, atau sejumput ekspektasi yang kadung kita munculkan. Bahkan tragisnya, kita bisa patah hati pada diri sendiri.


Secara definitif, patah hati itu memang susah dijelaskan. Berkelindan dengan rasa kecewa. Kalau ditanya kamu patah hati atau kecewa? Mungkin bisa keduanya. Juga ketika membedakan batas antara cinta, atau sekedar suka. Batasnya, kalau cinta itu rasa suka yang diiringi dengan hasrat untuk memiliki.

Ketika kita menyatakan rasa cinta kepada seseorang, dan ternyata orang itu tidak memiliki rasa yang sama, kita tentu akan kecewa, dan kemudian patah hati. Ada pedih yang tiba-tiba menjalar ke dada, ada rasa sesak seperti terjadi penyempitan pembuluh darah tiap kali mengingat sosoknya. Kondisi seperti itu sungguh tidak enak, mengurangi fokus, mood, dan gairah. Dalam skala tertentu, bisa menyebabkan gejala psikologis yang fatal.

Itulah definisi patah hati yang umum kita ketahui. Jika kita tarik pada pengertian yang lebih luas, senyatanya kita tidak hanya “memberikan hati” kita untuk seseorang semata. Kita sering melakukan sesuatu sepenuh hati, untuk pekerjaan, organisasi, komunitas, atau kelompok kecil. Kita melakukan segalanya dengan tulus, dengan sepenuh hati, namun ternyata tidak mendapatkan sambutan yang baik, bahkan cenderung diabaikan, atau malah dilecehkan.

Apakah yang seperti itu tidak bisa disebut patah hati?

Juga, ketika ada teman yang curhat panjang lebar soal presentasinya yang tidak berjalan mulus, padahal sudah mempersiapkannya dengan matang. Atau, ketika ia bertemu seseorang dan tidak terlalu bisa mengendalikan suasana, sehingga orang itu menjadi bosan. Ia merasa kecewa dengan diri sendiri, dengan suasana. Padahal pertemuan itu ia jalani dengan sepenuh hati.

Orang tua yang sudah berkorban waktu demi mencukupi kehidupan anaknya, pada titik tertentu akan merasakan pedih teramat sangat ketika anaknya diketahui melakukan sesuatu yang melanggar norma, atau melakukan keburukan. Kerja keras yang selama ini ia lakukan seolah sia-sia. Yang begitu juga patah hati yang menyakitkan.

Pernah suatu ketika seorang Ibu curhat panjang lebar sambil menahan airmatanya jatuh. Kala itu, ia rela menjadi TKW agar keperluan anaknya terpenuhi. Agar ia bisa membiayai sekolah, bisa memberikan fasilitas untuk pendidikan, biar anaknya bisa hidup layak. Namun ternyata ia mendapatkan kabar pahit ketika anaknya dikeluarkan dari sekolah karena kedapatan mengkonsumsi minuman keras.

Kala itu dunia seperti mau runtuh, ujarnya. Ibu itu yang kesehariannya semangat bekerja siang malam, dengan imajinasi positif tentang masa depan si anak, mendadak tidak punya gairah. Dalam waktu singkat kemudian ia kembali ke tanah air dan bekerja ala kadarnya. Begitu pahit rasanya, kerja keras sepenuh hati yang ia lakukan demi sang anak justru dibalas dengan selembar surat D.O yang merubah hampir seluruh hidupnya.

Saya pun mendengar itu sambil menahan kegetiran tersendiri. Benar kata pepatah, bagi dunia mungkin kita hanya seseorang. Tapi bagi seseorang kita adalah dunianya. Saya pun baru menyadari jika ada patah hati yang lebih kompleks dari sekedar putus cinta cengeng ala Anak baru gede.

Itu belum termasuk penghianatan super tragis yang melibatkan konstelasi sosial politik. yang melibatkan para elite dan tokoh-tokoh bangsa. Mungkin sudah bukan lagi patah hati. Tapi sudah remuk, hancur tak bersisa. Maka betul apa kata seorang teman, cengeng hanya karena ditolak perempuan, atau lelaki yang tidak lekas memberikan isyarat untuk meminangnya, adalah variasi dari patah hati. Meski tak bisa dipungkiri, tetap saja sakit.

Diujung tulisan ini, saya teringat dengan beberapa perbicangan. Perbincangan dengan seorang agnostical akut, saat saya curhat panjang lebar perihal patah hati. Patah hati itu tidak enak, membuat kita tidak peroduktif, fikiran kacau, gairah menurun, pokoknya sangat tidak nyaman.

Katanya, kita harus bisa mengelola patah hati agar lebih produktif. Jawaban serupa juga muncul dari seorang Yogini, bahwa patah hati bisa dikelola, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Tapi saya tidak paham. Saya kapok. Sampai kemudian saya membaca puisi seorang teman yang sangat menyentuh hati. Puisi tentang kehilangan dan penghianatan yang benar-benar mengoyak perasaan orang yang membaca.

Dia menulis itu setelah patah hati. Juga, ketika seorang musisi menciptakan lagu indah setelah ia ditolak perempuan, atau, lelaki miskin dekil yang kemudian menjadi kaya raya karena pernah ditolak perempuan lantaran terlalu miskin.

Ini gila! Bathin saya. Mereka mungkin saja menumpahkan patah hatinya tidak pada hati, tapi pada ruang lain yang lebih produktif. Tapi bagaimana caranya? Karena bagaimana pun, jika patah hati sekali lagi, mungkin hati saya sudah tidak mampu menahan sakitnya.

Tapi mereka yang patah hati pun juga tidak bisa menghindari rasa sakit. Sakit tetap terasa. Namun rasa sakit itu membuatnya harus cepat berfikir realistis. Logikanya harus cepat mengambil alih, jangan sampai terus-terusan dikuasahi perasaan. Karena, kata Dee, kadang pilihan terbaik adalah menerima. []

Blitar, 27 Desember 2016
A Fahrizal Aziz