Sedekah Politik



 | Seri Catatan Pemilu 2019

Ada yang menarik ketika sebagian orang menyebut pemberian uang, sembako, atau semacamnya, yang datang dari para caleg, adalah sedekah politik. Entah darimana istilah itu digunakan. Menyandingkan politik dengan kosakata agama.

Masalahnya, kalau sedekah itu kan ikhlas, tidak mengharap imbal balik. Apakah amplop berisi uang, sembako berlogo parpol atau caleg, dan sebagainya itu diberikan secara cuma-cuma? Rasanya tidak mungkin. Pasti ada "bisikan-bisikannya".

Meskipun yang menerima belum tentu menggubris. Penting dapat uang dan sembako, urusan milih itu soal lain. Apalagi ketika timses yang bertugas menyerahkan itu bilang jika itu sedekah dari Bapak/Ibu yang sedang nyaleg di dapil A dari Partai B nomor urut C.

Karena itu timses pun memainkan strategi lain, dengan meminta seseorang diluar timses untuk mengajak beberapa orang teman. Sehingga transaksinya menggunakan orang ketiga.

Memang besaran uang atau sembako yang diberikan tak seberapa, namun jika dikalikan sekian ratus atau ribu penerima "sedekah", totalnya bisa fantastis. Lebih besar dari gaji pokok dan tunjangan. Akhirnya ketika mendapat kursi, demi balik modal, dana yang semestinya untuk rakyat jadi sasaran.

Atau menggunakan cara-cara lain, agar "sedekah politik" yang pernah disalurkan bisa kembali lagi, meski dari jalur yang berbeda. Maka jangan banyak protes ketika jalan raya gampang rusak, bolong-bolong, dana bantuan dipangkas, hingga kebijakan-kebijakan yang kurang memihak.

Ibaratnya, dimanja sejenak, namun dibuat menderita berkepanjangan. Sebab dalam politik tidak ada yang gratis. Semua serba hitung-hitungan, sekalipun atas nama sedekah. Bahasa agama yang seringkali digunakan untuk memperhalus istilah.

Kontestan politik yang menggunakan uang pun sebenarnya juga bertaruh, sebab tak sedikit pula kasus terjadi, yang mana suara didapat tak sesuai dengan "sedekah politik" yang disalurkan.

Apakah dengan menerima "sedekahnya" namun tidak memilih calonnya adalah solusi? Mungkin iya, secara bertahap. Kontestan yang masih menggunakan uang akan berpikir ulang, mengingat banyaknya kasus bahwa uang yang dikeluarkan tak selalu menghasilkan suara.

Pada level kesadaran tertentu, masyarakat bisa menolaknya sama sekali. Sebab masyarakat sadar bahwa mereka punya hak, terutama terkait pelayanan publik. Lebih baik mereka menagih haknya, yang dijamin konstitusi, ketimbang menerima uang yang hanya cukup untuk beli kuota internet seminggu.

Sebab hak yang harusnya kita terima dari negara jumlahnya lebih besar, meski tidak selalu dalam bentuk uang. Kalau itu sudah kewajiban negara, bukan lagi sedekah. Masalahnya kita seringkali membiarkan orang yang bagi-bagi uang inilah yang mengurus negara. []

Blitar, 24 Maret 2019
A Fahrizal Aziz
Klik si-fahri.blogspot.com
loading...