Din Syamsudin, dan Perdebatan Soal Khilafah

| Isu terhangat
sumber : UMM

Klarifikasi Prof. Din Syamsudin perihal Khilafah sebenarnya sangat ilmiah, menyitir berbagai sumber, sekaligus menunjukkan ciri khas berpikir Muhammadiyah yang out of text, alias tidak tekstual.

Sayangnya, perdebatan di publik tidak bisa se-ilmiah itu. Mudah saja orang merendahkan Din Syamsudin dengan menyebut tidak paham bahasa arab, atau malah dianggap tidak paham agama. Ramai sekali di sosial media, atau WAG, yang "menghakimi" kekeliruan Din Syamsudin soal khilafah.

loading...


Saya teringat suatu moment dalam mata kuliah studi fiqh, ketika harus berdebat panjang soal perbedaan fiqh NU dan Muhammadiyah. Nampak jelas dan fulgar ungkapan yang menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak menghargai para Imam Madzhab. Malah ada yang menilai bahwa Muhammadiyah merasa "sok pintar" dibandingkan Imam Madzhab atau Ulama Madzhab yang luas keilmuannya.

Sangkaan dan sentimen yang sungguh menguat.

Memang sulit jika melihatnya dari pandangan yang berbeda, namun mencoba disamakan. Misalnya, Muhammadiyah lebih fokus pada metode, sementara NU pada tokoh (Imam Madzhab dan Ulama Mazhab). Muhammadiyah lebih fokus menyelidiki sumber dalil, NU fokus pada kitab-kitab yang dirujuk (al-kutub al mu'tabar).

Meskipun, jika ditelisik lagi, kadang pada kasus tertentu keduanya bisa sama. Misalnya, ketika NU membahas masalah yang belum dibahas Imam Madzhab (qawl) atau Ulama Madzhab (Al Wajh), maka NU akan melakukan Ilhaqi, oleh para Ulama ahli bil jama'i.

Bahkan jika Ilhaqi tidak memungkinkan, barulah Istimbath secara kolektif. Ini memang agak mirip ketika Majelis Tarjih duduk bersidang, membahas suatu masalah yang diperselisihkan, lalu menyelidiki dalil terkuatnya.

Meskipun Muhammadiyah juga menggunakan pendekatan Ta'lili (rasional) dan Istislahi (filosofis). Sangat khas dengan julukannya selama ini, sebagai gerakan pembaharuan.

Penjelasan Prof. Din Syamsudin itu benar-benar menunjukan betapa khas-nya pemikiran Muhammadiyah, yang tidak tekstual.

Padahal banyak yang menganggap jika Muhammadiyah, atau warga Muhammadiyah, selama ini dianggap tekstualis. Apalagi dengan jargon kembali ke Al Quran dan Sunnah, yang kadang diartikan semena-mena dengan menafsir ayat begitu saja, tanpa metode atau pendekatan tertentu.

Prof. Din Syamsudin menjelaskan kata Khalifah dengan pendekatan bayani (semantik/kebahasaan) yang seakar dengan Khilafah. Sekaligus menyadarkan kita bahwa istilah Khalifah atau Khilafah adalah khas Al Quran. Bukan milik Hizbut Tahrir.

Akankah ini menjadi perdebatan ilmiah dan berkelas? Ditengah betapa dangkalnya perdebatan publik akhir-akhir ini? Apalagi ketika dikaitkan dengan isu politik.

Orang bisa berdebat dangkal soal Komunisme, Sosialisme hingga Marxisme. Menyamakan dengan Leninisme atau Maoisme.

Sama dangkalnya ketika menganggap orang yang mempelajari Marxisme berarti mendukung komunis China. Mungkinkah perdebatan Khilafah ini nantinya juga akan didangkalkan semata upaya mendukung Hizbur Tahrir?

Semoga tidak. Mari kita sudahi perdebatan dangkal, dan mulai melakukan perdebatan yang lebih ilmiah. Agar pengetahuan lebih berkembang dibanding sentimen.

Sleman, 2 April 2019
A Fahrizal Aziz