Saya Golput!



Golput seringkali dianggap sebagai sikap apolitis, yang kurang baik bagi iklim demokrasi suatu bangsa. Karena itu, masyarakat didorong untuk menggunakan hak suaranya, agar angka golput bisa diminimalisir. Akan tetapi, pikiran untuk golput mungkin hinggap pada banyak orang ketika suasana politik nampak terpolarisasi seperti sekarang ini.

Golput atau golongan putih memang istilah yang populer terutama pada zaman orde baru, ketika masyarakat hanya bisa memilih kuning, merah, dan hijau. Sementara pihak yang menang selalu sudah tertebak. Jadi untuk apa memilih jika pemenangnya sudah diketahui? Karena itulah ada golongan putih yang tidak ikut memilih.

Sehingga, golput dalam konteks sekarang mungkin kurang relevan jika dibandingkan dulu. Sekarang kompetisi begitu sengit, bahkan kadang tak tertebak, mana yang terpilih. Semua melalui proses politik yang teramat keras di lapangan.

Pada zaman orde baru, golput adalah sikap politik. Ada sikap yang ingin ditunjukkan : tidak percaya dengan proses demokrasi yang dijalankan pemerintah, serta bertujuan menggerus legitimasi pemerintah sebab lebih banyak yang tidak memilihnya.

Bayangkan, andai partisipasi publik dalam pemilu kurang dari 50%. Lantas kemana suara lebih dari 50%? Karena itu, siapapun yang akhirnya menjadi pemimpin, legitimasinya di hadapan publik kurang begitu kuat sebab dipilih kurang dari separuh jumlah pemilih yang terdaftar.

Golput sekarang ini, mungkin tumbuh seiring makin terpolanya dukungan pada dua kubu. Padahal pemilu 2019 tidak hanya memilih presiden dan wakil presiden, namun juga DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/kota. Akan tetapi tensi dukungan ke capres cawapres begitu kuat.

Polarisasi sekaligus fanatisme pendukung yang membabi buta membuat orang enggan menjadi bagian dari salah satunya. Apalagi dengan label "cebong" dan "kampret" yang melekat. Orang semakin jengah dan memilih golput saja.

Padahal golput dan suara tidak sah adalah dua hal yang sebenarnya sama. Misal seseorang memilih golput dengan tidak datang ke TPS, tidak ikut mencoblos. Sama dengan mereka yang datang dan mencoblos semua calon sehingga suara tidak sah.
loading...



Bedanya, golput yang tidak hadir ke TPS, surat suaranya tetap baru dan tersimpan rapi. Meski kita khawatir, akankah surat suara yang jadi jatah kita, yang tidak kita ambil itu, akan tetap tersimpan rapi atau justru dimanfaatkan oknum-oknum yang hendak berbuat curang?

Ada juga yang golput, namun tidak total. Misalnya, ia golput dalam mencoblos presiden, namun mencoblos calon DPR dan DPD. Begitu pun sebaliknya, orang ke TPS hanya memilih capres cawapres dan tidak memilih yang lain, sebab tidak mau ribet karena banyaknya nama calon DPR yang tertera.

Memang ada yang golput total, ada yang golput sebagian. Selain itu, jangan dikira yang datang ke TPS tidak selalu golput. Bisa jadi "golput" karena keliru menggunakan hak suaranya. Tak sedikit kita jumpai surat suara tidak sah, entah karena terlalu banyak yang dicoblos atau lainnya, yang mungkin kesalahan teknis atau kurangnya pengetahuan seputar tata cara mencoblos.

Demi agar masyarakat menggunakan hak suaranya, hari pemungutan suara pun dijadikan hari libur. Agar para pekerja punya waktu untuk memilih, dan tidak golput karena terkendala pekerjaan.

Memang, semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu, politik semakin berdaulat, dan legitimasi kepemimpinan dari level daerah maupun pusat juga semakin kuat. Karenanya penyelenggara pemilu semaksimal mungkin berupaya agar masyarakat menggunakan hak pilihnya. Selain melalui instrument yang ada seperti PPK dan PPS, juga dibentuk relawan demokrasi.

Lantas bagaimana dengan mereka yang sudah jengah dengan "cebong" dan "kampret" yang memberikan dukungan dengan membabi buta? 

... baca selengkapnya disini https://www.qureta.com/post/saya-golput