Menikmati Karya Sastra (4)

Maryamah Karpov? Waktu iseng mengitari rak buku-buku sastra di Perpustakaan kampus, tak sengaja menemukan novel Maryamah Karpov, yang notabene adalah karya pamungkas dari Tetralogi Laskar Pelangi.

Tiga novel lainnya sudah saya baca ketika Aliyah. Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor saya baca berurutan, meminjam punya teman. Maryamah Karpov belum sempat terbaca karena alasan fokus untuk Unas. Sehingga yang dikonsumsi hanya buku-buku pelajaran.

Namun menurut pendapat teman-teman yang pernah membaca, Maryamah Karpov memang kurang menggigit, dibandingkan tiga novel sebelumnya. Dari keempatnya, saya lebih menyukai Sang Pemimpi.

Tambah komplit, ketika akhir tahun 2009 novel itupun diangkat menjadi film. Saya dan dua orang teman ma'had, rela bolos kuliah bahasa arab sore harinya demi menonton film tersebut di Matos.

Apesnya, setelah mandi untuk menuju matos, kacamata saya terjatuh dekat almari. Retak. Karena terbuat dari kaca. Akhirnya saya menonton film Sang Pemimpi dengan kacamata yang retak sebelah.

Salah seorang teman kemudian menyarankan membeli kacamata yang terbuat dari mika, biar kalau jatuh tidak retak. Selain harganya ternyata lebih murah.

Tapi karena itu terbuat dari mika, harusnya tidak lagi disebut kacamata, tapi mikamata. Hehe

***
Randy Ahmad memerankan sosok Aray dengan sangat baik. Bahkan, bagi saya pribadi, ini jauh melebihi ekspektasi.

Itu karena saya membaca novelnya, sebelum menonton filmnya. Berbeda dengan ayat-ayat Cinta dulu, nonton filmnya baru membaca novelnya. Biasanya orang justru kecewa, ketika novel diangkat menjadi film, sebab visualisasinya tidak "lebih baik" dari apa yang mereka imajinasikan.

Aray dalam imajinasi saya 11 : 12 dengan Randy Ahmad. Justru sosok Ikal yang agak diluar dugaan, mengingat sosok Ikal di film Laskar Pelangi bertubuh kurus, Ikal Sang Pemimpi bertubuh gemuk.

Ketika novel diangkat menjadi film, Sutradara harus beradu dengan imajinasi pembaca. Ini tentu sulit, karena imajinasi setiap pembaca tentu berbeda-beda. Apalagi yang imajinasinya sedikit liar.

Ketika membaca cerpen atau novel, pembaca memang akan "mencipta filmnya" sendiri dalam kepalanya masing-masing. Apalagi jika penulis mampu menyajikan deskripsi dan narasi yang menantang imajinasi pembaca.

Laskar Pelangi termasuk yang menarik dari sisi diksi, meski banyak istilah-istilah ilmiah. Ceritanya pun dramatik, meski porsi untuk Lintang dan Mahar lebih banyak dibandingkan tokoh lain.

Apa benar itu 100% kisah nyata? Banyak yang meragukan. Terlepas dari apakah itu nyata atau diberi beberapa tambahan untuk mendramatisir cerita, yang penting kita nikmati saja. []

Blitar, 13 Juli 2017
Ahmad Fahrizal Aziz